BAB I
PENDAHULUAN
Kedelai menjadi komoditas utama dalam pembangunan pertanian
Indonesia karena memiliki peran yang sangat penting dalam penyediaan pangan,
pakan, dan bahan baku industri. Budi daya kedelai melibatkan lebih dari satu
juta keluarga petani kecil yang menggantungkan penerimaan tunainya pada
kedelai. Komoditas kedelai juga memberi lapangan penghidupan bagi ratusan ribu
pengrajin tahu-tempe dan pedagang pengecernya, serta buruh pada industry
pengolahannya. Penggunaan kedelai terus meningkat sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk serta perkembangan industri pakan dan pangan olahan kedelai
sehingga produksi nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan. Sehubungan dengan
permasalahan tersebut, pemerintah telah memasukkan kedelai dalam program
peningkatan produksi melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi, dan
diversifikasi, disertai kegiatan penyuluhan dan pengamanan.
Pascapanen,
pemasaran, dan harga (Sihombing1985). Berbagai upaya tersebut mampu
meningkatkan produktivitas dan produksi nasional kedelai secara nyata, walaupun
belum mencapai tingkat yang diinginkan. Sebagai gambaran, laju peningkatan
produktivitas rata-rata pada tahun 1930-1950 hanya 0,5 t/ha, tahun 1950-1970
meningkat menjadi 0,7 t/ha dan produksi nasional sekitar 500.000 t/tahun. Pada
tahun 1990, produktivitas kedelai telah mencapai 1,1 t/ha dan produksi nasional
mencapai 1,2 juta t/tahun. Banyak faktor yang berperan dalam kenaikan produksi
dan produktivitas kedelai, termasuk penanaman varietas unggul dan penggunaan
benih bermutu, perbaikan cara budi daya dan pengendalian hamapenyakit, serta
penanganan pascapanen yang lebih baik. Namun, melihat potensi hasil pada petak
percobaan yang dapat mencapai 2,5-3,0 t/ha, seharusnya produktivitas kedelai
dapat ditingkatkan menjadi 1,5-1,7 t/ha. Teknologi untuk mencapai produktivitas
tersebut telah tersedia, walaupun masih perlu disempurnakan (Manwan et al. 1990).
Ketersediaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan adaptif terhadap
lingkungan agroklimat spesifik, mutlak diperlukan untuk mencapai tingkat
produktivitas tersebut. Mulai tahun 1991, usaha ekstensifikasi kedelai pada
lahan-lahan baru ditingkatkan. Pada awal tahun 1990-an terdapat 2 juta ha lebih
lahan sawah yang diberakan pada musim kemarau dan 5 juta ha lebih lahan kering
yang belum diusahakan untuk tanaman pangan. Dari lahan-lahan tersebut pasti
terdapat areal yang sesuai untuk usaha tani kedelai. Sebagai negara dengan
konsumsi kedelai yang terus meningkat, areal panen kedelai di Indonesia
relative sangat kecil dibandingkan negara-negara penghasil kedelai, seperti
Amerika Serikat (25 juta ha), Cina (8 juta ha), Brasil (9 juta ha), dan
Argentina (4 juta ha). Guna mencapai kecukupan dan keamanan penyediaan kedelai
hingga awal abad ke-21, Indonesia perlu memiliki luas areal panen kedelai
minimal 2 juta ha dengan total produksi 3 juta tahun. Sistem usaha tani kedelai
di Indonesia sangat beragam dari segi tipe lahan yang digunakan, jenis tanah,
sistem rotasi dan pola tanam, serta musim tanamnya. Keadaan yang sangat
kompleks ini memerlukan paket-paket teknologi spesifik, termasuk varietas
kedelai yang paling sesuai. Permasalahan ini memberikan peluang dan tantangan
bagi para peneliti kedelai untuk berkarya bersama guna memecahkan permasalahan
serta menghasilkan varietas unggul yang beradaptasi pada lingkungan spesifik.
BAB II
A. HASIL
PERBAIKAN GENETIK KEDELAI
Perbaikan
varietas kedelai di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1915 (Somaatmadja
1985). Langkah yang dilaksanakan pada saat itu adalah melakukan koleksi
varietas lokal dan mengintroduksi varietas dari Cina, Manchuria, Taiwan,
Jepang, dan Negara lain, yang diikuti dengan seleksi massal dan seleksi galur
murni. Melalui upaya ini, pada sekitar tahun 1920 diperoleh varietas No. 16,
No. 27, dan No. 29 yang ditanam petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga
akhir tahun 1960-an. Persilangan untuk membuat varietas genjah dilakukan pada
akhir tahun 1920-an, dan pada tahun 1935-1937 diperoleh varietas Ringgit dan
Sindoro yang ditanam petani di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Lampung. Sejak awal
tahun 1960-an, varietas ini tidak lagi ditanam petani karena peka terhadap
penyakit karat. Pada tahun 1950-1970, introduksi varietas dari luar negeri
diintensifkan, di samping dilakukan persilangan dan seleksi terhadap varietas
lokal. Pada masa itu berhasil dilepas varietas Merapi, Davros, dan Shakti yang
ditanam petani di Jawa Tengah dan Jawa Barat (Somaatmadja 1985). Sejalan dengan
mobilitas dan perpindahan penduduk, varietas-varietas tersebut juga ikut
menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak tahun 1970-an, penelitian perbaikan
varietas kedelai mulai ditangani lebih intensif. Persilangan lebih banyak
dibuat, dan seleksi terhadap varietas local dihentikan. Galur-galur yang
terpilih diuji di sentra produksi kedelai bekerja sama dengan Direktorat
Produksi Tanaman Pangan.
Melalui program pemuliaan yang lebih intensif dari tahun 1970 hingga
1990 berhasil dilepas 15 varietas unggul kedelai (Tabel 1). Walaupun belum
memiliki sifat unggul yang lengkap, varietas-varietas tersebut memiliki
keunggulan dibandingkan dengan varietas unggul lama, terutama dari segi potensi
hasil, pengurangan umur panen, toleransi terhadap penyakit karat, adaptasi
terhadap lingkungan spesifik, serta kualitas biji.
Tabel
1. Varietas unggul kedelai yang dilepas di Indonesia dari tahun 1970 hingga
tahun 1990.
Nama
varietas
|
Tahun
dilepas
|
Daya hasil
(t/ha)
|
Umur panen
(hari)
|
Orba
|
1974
|
2,0
|
85
|
Galunggung
|
1981
|
1,8
|
83
|
Lokon
|
1982
|
1,7
|
78
|
Guntur
|
1982
|
1,7
|
78
|
Wilis
|
1983
|
2,5
|
86
|
Dempo
|
1984
|
2,0
|
96
|
Kerinci
|
1985
|
2,5
|
87
|
Raung
|
1986
|
2,0
|
85
|
Tidar
|
1987
|
2,0
|
75
|
Muria
|
1987
|
2,0
|
88
|
Petek
|
1988
|
1,5
|
75
|
Tambora
|
1989
|
2,0
|
85
|
Lompobatang
|
1989
|
2,0
|
87
|
Rinjani
|
1989
|
2,5
|
88
|
Berdasarkan
survei yang dilakukan bulog pada tahun 1985-1987, penanaman varietas unggul
kedelai telah mencapai 60% dari total luas panen (Bulog 1987). Dengan
penyediaan benih mengikuti jalur benih antarlapang dan musim (jabalsim), areal
yang ditanami varietas unggul dari waktu itu ke tahun-tahun berikutnya makin
meningkat, walaupun kemurnian varietas mungkin kurang terjamin. Kenaikan
produktivitas kedelai dari 0,7 t/ha pada awal tahun 1970-an menjadi 1,1 t/ha pada
tahun 1990 sejalan dengan pelepasan dan penanaman varietas unggul. Beberapa
petani maju di Jombang, Pasuruan, dan Banyuwangi (Jawa Timur), dengan menanam
kedelai varietas Wilis dapat menghasilkan 2 t biji kering/ha. Kenaikan produksi
akibat penggunaan varietas unggul merupakan bonus bagi petani karena adopsi
varietas unggul tersebut tanpa memerlukan tambahan biaya.
B.
TEKNOLOGI GENETIKA
Ilmu
genetika yang mendasari perbaikan genetik varietas tergolong ilmu yang muda
dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Namun, penerapan teknologi
genetika pada tanaman telah mengakibatkan terjadinya revolusi budi daya
pertanian di seluruh dunia. Revolusi hijau yang terjadi pada tahun 1970-an
dalam produksi serealia dimotori oleh penggunaan varietas unggul sebagai aplikasi
teknologi genetika. Perbaikan yang diperoleh tidak saja dalam hal daya hasil,
tetapi juga peningkatan stabilitas produksi oleh adanya gen-gen ketahanan
hama-penyakit, peningkatan adaptasi pada lingkungan berkendala, kesesuaian umur
panen terhadap sistem usaha tani, dan peningkatan respons terhadap pupuk dan
pengairan. Dengan adanya perbaikan sifat genetik tersebut, usaha tani tanaman
pangan telah berubah dari usaha subsisten menjadi usaha komersial. Penerapan
teknologi genetika memiliki keuntungan dan kelebihan khusus karena tidak
memerlukan modal besar, bahan bakunya tersedia di alam, teknologinya mudah
dikuasai, serta tidak menimbulkan limbah yang mencemari lingkungan. Indonesia
sebagai negara agraris, seyogianya memanfaatkan teknologi genetika tersebut
untuk mendukung pembangunan pertanian dalam arti yang seluas-luasnya. Pada
waktu kini diperlukan peningkatan kesadaran akan pentingnya peningkatan
penelitian genetika, baik sebagai ilmu dasar maupun sebagai teknologi terapan
untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya genetik Indonesia. Teknologi genetika
dalam bahasan ini diartikan sebagai semua teknik yang berkaitan dengan usaha
perbaikan konstruksi genetik tanaman guna meningkatkan kemampuan varietas
tanaman dalam hal produktivitas, ketahanan terhadap hamapenyakit, stabilitas,
kualitas maupun adaptabilitas tanaman. Berbagai teknik genetika telah
dikembangkan dalam kurun waktu 75 tahun terakhir, yang pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi 10 teknik, yaitu: (1) aklimatisasi dan adaptasi gen; (2)
rekombinasi dan fiksasi gen melalui hibridisasi; (3) alterasi gen dengan
mutasi; (4) alterasi kromosom; (5) ploidisasi; (6) alterasi genom; (7)
introgresi plasma nutfah asing; (8) substitusi sitoplasma; (9) rekayasa
genetik; dan (10) kombinasi jaringan somatik. Penerapan masing-masing teknik
genetika tersebut dalam program perbaikan varietas barulah merupakan tahap
pertama, yang perlu diikuti oleh tahapan seleksi dan uji daya hasil, adaptasi,
stabilitas sifat, mutu hasil, preferensi konsumen, serta uji sifat-sifat lain.
Dengan demikian, secara keseluruhan proses perakitan varietas unggul memerlukan
waktu yang relatif lama. Bahasan dan uraian masing-masing teknik genetika
tersedia pada buku-buku teks, antara lain yang ditulis oleh Fehr (1987a) dan
Simmonds (1979). Pemilihan berbagai
alternatif teknik genetika tersebut untuk perbaikan varietas tanaman
ditentukan oleh sifat biologi tanaman, cara penyerbukan, cara perbanyakan
benih, bentuk varietas, serta peralatan dan tenaga ahli yang tersedia. Adaptasi
dan aklimatisasi genotipe, teknik rekombinasi dan fiksasi gen, sertan teknik
alterasi gen telah banyak diterapkan dalam perbaikan genetik tanaman pangan,
termasuk kedelai. Berbagai prosedur seleksi dan bentuk varietas yang berkaitan
dengan teknik tersebut dapat dipilih sesuai dengan spesies tanamannya. Sebagian
besar varietas unggul yang ada pada saat ini dikembangkan dengan teknik-teknik
tersebut. Teknik alterasi kromosom dimanfaatkan untuk mendapatkan sifat tahan
penyakit karat pada terigu, dengan cara menyisipkan sepotong kecil kromosom
terigu liar (Aegilops sp.) pada kromosom terigu budi daya (Sears 1956;
Riley et al. 1968). Dengan menggunakan translokasi kromosom yang
mengandung gen mandul jantan Msms, Patherson (1978) menyarankan alternative
pembentukan galur betina mandul jantan pada pembuatan hibrida jagung dengan
teknik sitogenetik. Teknik ini pun berpeluang untuk diterapkan pada pembentukan
galur betina (mandul jantan) pada hibrida padi. Ploidisasi bermanfaat dalam
persilangan antarspesies guna memperoleh turunan yang fertil. Persilangan Triticum
sp. (4x) dengan Secale sp. (2x) menghasilkan keturunan genotipe (3x)
yang steril, tetapi setelah kromosomnya digandakan menjadi heksaploid yang
fertil menghasilkan spesies baru Triticale (6x) yang stabil. Ramage
(1965) mengusulkan teknik modifikasi genom untuk membentuk hibrida pada tanaman
menyerbuk sendiri, dengan cara memasukkan gen mandul jantan Ms pada genom Trisomik
(2x+1A). Penambahan satu kromosom yang mengandung gen Ms mengakibatkan
polen steril sehingga galur berfungsi sebagai betina. Introgresi 1-3% gen dari
plasma nutfah liar ke dalam genom varietas unggul dilaporkan dapat meningkatkan
potensi hasil kedelai (Schoener and Fehr 1979; Sumarno 1988). Substitusi
sitoplasma varietas unggul oleh sitoplasma varietas liar jugasering
dimanfaatkan untuk memperoleh ketahanan terhadap penyakit atau sifat jantan
mandul yang dapat dimanfaatkan pada pembuatan hibrida.
C.
REKAYASA GENETIK DAN BIOTEKNOLOGI
Rekayasa
genetik melalui bioteknologi memanfaatkan teknik manipulasi dan rekombinasi gen
pada tingkat sel dengan bantuan vektor, peralatan fisik mikro, dan media
tumbuh. Dengan teknik ini dimungkinkan untuk merekombinasikan gen yang
diisolasi dari spesies lain, yang tidak mungkin dilakukan dengan cara-cara
persilangan konvensional. Agar teknik ini efektif, diperlukan penguasaan teknik
yang meliputi identifikasi gen yang diinginkan, isolasi gen, pembuatan klon
gen, transformasi dan rekombinasi gen ke dalam sel penerima dengan bantuan
vektor, regenerasi sel menjadi tanaman transgenik, serta penelusuran keragaan (expressivity)
dan stabilitas gen pada tanaman dalam proses perbanyakan benihnya. Apabila
teknik masingmasing tahap tersebut sudah dapat dilaksanakan secara rutin,
penerapan rekayasa genetik memberikan prospek yang sangat besar, terutama dalam
penggabungan gen untuk ketahanan hama dan penyakit.
BAB III
D. PENERAPAN
TEKNOLOGI GENETIKA PADA KEDELAI
Walaupun
varietas unggul kedelai sudah banyak dilepas melalui program perbaikan
varietas, kemajuan genetik potensi hasilnya belum maksimal. Dari program
perbaikan varietas kedelai di Amerika Serikat, kemajuan genetik varietas sejak
tahun 1924 hingga 1980 mencapai 21 kg/ha/ tahun, atau daya hasil meningkat
1,176 kg/ ha melalui usaha perbaikan varietas selama 56 tahun (Specht dan
Williams 1984). Sebagai perbandingan, perbaikan varietas jagung di Amerika
Serikat dari tahun 1955 hingga 1980 memperoleh kemajuan genetic sebesar 112
kg/ha/tahun, atau peningkatan potensi hasil 2.800 kg/ha selama 25 tahun (Duvick
1984). Untuk mendapatkan peluang yang lebih besar dalam memperoleh terobosan
peningkatan potensi hasil varietas unggul kedelai, beberapa alternatif
rancangan perbaikan genetik diajukan sebagai berikut.
1.
Perbaikan Genetik Untuk Peningkatan
Potensi Hasil Berdasarkan Sifat Fisiologis Tanaman.
Mengikuti keberhasilan perbaikan genetic tanaman padi yang
mendasarkan pada bentuk ideal tanaman, hal serupa perlu diterapkan pada tanaman
kedelai. Namun, hingga kini belum dapat dirumuskan bentuk ideal tanaman kedelai
secara jelas. Proses fisiologis tanaman kedelai yang berupa laju fotosintesis,
indeks luas daun, dan laju pertumbuhan tanaman kurang efektif sebagai kriteria pemilihan varietas
unggul (Cooper 1976). Kemungkinan justru sifat-sifat morfofisiologis seperti
tipe pertumbuhan batang (determinit, semideterminit, indeterminit), rasio periode
vegetatif-generatif, serta rasio hasil biji dan hasil biomassa dapat memberikan
indikasi yang baik untuk pemilihan varietas unggul. Hasil penelitian Harsono et
al. (1989) menyimpulkan bahwa varietas kedelai yang berdaya hasil tinggi
dicirikan oleh sifat tipe tumbuh determinit, distribusi cahaya dalam tajuk
tanaman baik, serta memiliki periode pengisian biji efektif yang panjang dan
laju pengisian biji tinggi. Varietas Tidar dan Wilis ternyata memiliki
sifat-sifat tersebut. Seleksi untuk mendapatkan galur unggul akan lebih efektif
bila mendasarkan kriteria bentuk tanaman determinit atau semideterminit, rasio
periode vegetatif/generative kurang dari 1,0, dan indeks panen lebih dari 0,5.
Dengan pemilihan umur panen yang disesuaikan dengan sistem usaha tani setempat,
varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dapat dirakit menggunakan kriteria
tersebut.
2.
Perbaikan Genetik Untuk Ketahanan
Hama Dan Penyakit Utama.
Produksi kedelai yang tidak stabil disebabkan oleh
gangguan hama dan penyakit yang belum dapat dikendalikan dengan baik.
Tersedianya varietas kedelai yang tahan/toleran hama dan penyakit akan
memudahkan petani dalam budi daya kedelai, serta meningkatkan stabilitas
produksi tanaman. Hama yang perlu dikendalikan dengan penggunaan deploisasi gen
pada varietas tahan terutama adalah lalat bibit (Ophiomya phaseoli),
pengisap polong (Nezara sp.; Riptortus sp.), penggerek biji (Etiella
sp.), dan kutu trip. Sifat tahan penyakit terutama ditujukan kepada karat daun,
virus, bakteri busuk daun, dan bakteri bisul pustul. Gen sumber ketahanan
terhadap hama pengisap polong dan kutu trip serta sifat tahan penyakit karat
dan bakteri busuk daun tersedia pada koleksi plasma nutfah yang terdapat di
Puslitbangtan, AVRDC Taiwan, dan Amerika Serikat. Spesies liar kedelai juga
memiliki gen ketahanan hama dan penyakit utama (Hymowitz 1991). Untuk
keberhasilan program perbaikan genetik ketahanan hama dan penyakit, diperlukan
kesadaran peneliti akan perlunya saling bekerja sama antara patologis, pemulia,
atau entomologis-pemulia sejak pemilihan tetua persilangan, seleksi, hingga
pengujian dan pelepasan varietas. Keterkaitan interdisiplin yang sinergis dan
simbiotik antara peneliti patologis-pemulia atau entomologis-pemulia. Saat ini
keterkaitan kerja interdisiplin yang demikian belum banyak dilakukan karena
adanya perasaan egodisiplin ilmu.
Dalam program kerja interdisiplin tersebut, peneliti patologis
atau entomologis memperoleh hak untuk melepas varietas unggul yang
dikembangkan. Penerapan teknologi genetika secara konvensional harus diakui
belum berhasil mendapatkan varietas-varietas kedelai yang tahan terhadap hama
yang bersifat polifag, seperti ulat grayak, ulat Heliothis atau berbagai
strain virus. Peluang untuk mendapatkan varietas tahan dengan caracara lain,
termasuk penerapan rekayasa genetik dalam bioteknologi, perlu dimanfaatkan.
3.
Perbaikan Potensi Hasil Biji Atas
Dasar Maksimalisasi Ragam Aditif Dan Kemajuan Genetik.
Potensi
hasil kedelai dikendalikan oleh banyak gen (poligenik). Persilangan antara dua
tetua yang selama ini dilakukan dinilai memiliki kelemahan karena proses
inbridisasi sejak generasi F2 langsung diikuti oleh fiksasi gen secara cepat,
sehingga tidak dapat menampung rekombinasi gen positif (favorable genes)
penentu hasil. Keadaan ini diperburuk oleh kecilnya populasi F2 dan sedikitnya
famili galur yang dibentuk. Hal inilah kemungkinan yang menjadi penyebab
kecilnya kemajuan genetic daya hasil varietas unggul yang telah dilepas. Untuk
meningkatkan terjadinya rekombinasi gen positif dan menunda terjadinya fiksasi
gen serta memaksimalkan ragam aditif, perlu dilakukan persilangan ganda (multiple
crosses) dari 16 tetua terpilih yang diikuti dengan inbridisasi menggunakan
penurunan biji tunggal (single seeddescent). Tetua-tetua yang
dipergunakan dalam persilangan ganda terdiri atas varietas unggul dan varietas
unggul lokal terbaik, namun diusahakan masing-masing tidak memiliki hubungan
genetik. Saran tetua yang dapat digunakan pada program ini tertera pada Tabel
2.
Untuk
mendapatkan rekombinasi gengen dari 16 tetua pada musim ke-1 dibuat delapan
pasangan persilangan. Pada musim ke-2, delapan tanaman F1(1) disilangkan
menjadi empat pasangan sehingga menghasilkan empat macam F1(2). Pada musim
ke-3, empat F1(2) dibuat menjadi dua pasang persilangan, dan pada musim ke-4
tanaman F1(3) dibuat satu pasang persilangan untuk membentuk biji F1(4). Untuk
mengakomodasi sebanyak mungkin rekombinasi gen dari semua tetua, perlu diusahakan
untuk mendapatkan biji F1(2), F1(3) dan F1(4) sebanyak mungkin.
Tabel
2. Saran tetua untuk persilangan ganda, berupa varietas unggul kedelai yang
berkerabat genetik jauh.
Nama
varietas
|
Pedigri
|
Asal
|
Sinyonya
|
-
|
Lokal
Jember
|
Tambora
|
B-7507
|
Thailand/IRRI
|
IAC-11
|
-
|
Brasil
|
Wilis
|
1682/Orba
|
Persilangan
Bogor
|
Kucir
|
-
|
Lokal
Lampung
|
Dempo
|
Amerikana
|
1400-B
Kolumbia
|
SJ-4
|
-
|
Thailand
|
Raung
|
Shakti x
Davros
|
Persilangan
Bogor
|
Tainung-4
|
-
|
Taiwan
|
Lokon
|
Genjah
Slawi x TK5
|
Persilangan
Sukamandi
|
Lumajang
Bewok
|
-
|
Lokal
Lumajang
|
Mlg-2675
|
-
|
Lokal
Ponorogo
|
Secara
teoritis, apabila gen pengatur hasil biji terdiri atas n lokus maka diperlukan
3(n) individu F1(4) untuk dapat menampung semua rekombinasi gen-gen tersebut.
Sebagai contoh, bila n = 8 lokus, diperlukan 6.561 biji F1(4) . Dalam praktek,
membuat biji hibrida sebanyak 6.561 biji sukar dilakukan pada kedelai.
Banyaknya biji yang tertera pada Lampiran 2 adalah jumlah yang disarankan
sesuai pertimbangan praktis. Pada musim ke-4, populasi F1(4) yang setara dengan
F2 pada persilangan tunggal, diinbridisasi dengan metode penurunan biji tunggal
(single seed descent) (Brim 1996). Galur inbrida (homozigot) F6 terdiri atas
famili yang tidak bersaudara (non-sister lines) karena masing-masing berasal
dari rekombinasi 16 tetua, dan diturunkan langsung dari F1(4). Dengan demikian,
keragaman genetik antargalur F6 menjadi maksimal, sesuai dengan keragaman genetik
antarfamili. Galur F6 dapat diperbanyak dan diobservasi ecara terhadap karat dan pengelompokan umur panen,
namun pemilihan galur (seleksi) perlu lebih didasarkan pada uji daya hasil.
Galur-galur ini dapat diuji di banyak lokasi, pada semua agroekologi sentra
produksi kedelai. Keuntungan populasi bastar yang dibentuk dari persilangan
banyak tetua, selain dapat meningkatkan kemajuan genetik yang lebih besar dan
dapat memperoleh varietas baru yang potensi hasilnya lebih tinggi daripada
tetuanya, juga diperoleh hal-hal berikut:
a. Galur-galur
yang diperoleh memiliki adaptasi luas, di samping juga tersedianya galur yang
adaptif lingkungan spesifik sesuai dengan adaptasi tetuanya.
b. Dari
populasi dapat dibentuk banyak galur yang tidak sefamili.
c. Harga
tengah populasi, yang diukurpada potensi hasil, cukup tinggi karena tetuanya
varietas unggul.
d. Galur-galur
yang terbentuk memiliki ragam genetik yang besar.
e. Ragam
aditif diperbesar hingga mencapai hampir 200% dari ragam aditif populasi asal,
dan ketersediaan keragaman antargalur maksimal.
f. Galur
terpilih dapat dijadikan tetua baru dalam program persilangan berikutnya.
g. Seleksi
dengan proses uji daya hasil dapat dilakukan di berbagai lingkungan, dan
masing-masing lingkungan memiliki peluang untuk memperoleh galur yang adaptif
karena besarnya keragaman genetik yang tersedia.
h. Persilangan
dan inbridisasi cukup dilakukan di salah satu kebun percobaan, dan galur-galur
homozigot F6 dapat dikirim ke semua lokasi target/instansi yang memerlukan.
Dibandingkan persilangan dengan dua tetua yang sering dilakukan selama ini,
rancangan persilangan ganda diikuti penurunan biji tunggal tidak memiliki
kesulitan yang berarti. Perbedaannya, rancangan persilangan ganda memerlukan
lebih banyak tenaga penyilang yang tekun dan terampil untuk memperoleh biji
hibrida yang cukup banyak. Keuntungan teoritis berdasarkan perhitungan genetika
kuantitatif dan kemajuan genetik maksimum dari rancanagan persilangan ganda.
4. Penerapan Bioteknologi
Teknologi
genetika konvensional pada tanaman kedelai dewasa ini memiliki keterbatasan
sehingga
menghambat keberhasilan usaha perbaikan varietas. Sebagaib contoh, hingga saat
ini belum berhasil ditemukan sumber gen untuk ketahanan terhadap virus. Dengan
teknik rekayasa genetik, dimungkinkan untuk menggabungkan gen-gen yang dapat
membentuk senyawa antibiosis yang mengakibatkan tanaman tahan terhadap penyakit
tersebut. Beberapa contoh kemungkinan penerapan bioteknologi pada tanaman
kedelai adalah sebagai berikut:
a. Transformasi
gen ketahanan virus (CP-gene) ke dalam sel penerima sehingga
terintegrasi ke dalam genom kedelai, diikuti regenerasi sel menjadi tanaman
sehingga diperoleh tanaman yang memiliki sifat tahan virus.
b. Transformasi
gen ketahanan hama yang berasal dari indotoksin gen Bacillusthuringiensis
(Bt-gene) ke dalam genom kedelai menggunakan bantuan vektor
Tiplasmid, diikuti regenerasi sel menjadi tanaman transgenik yang tahan ulat
pemakan daun.
c. Seleksi
ketahanan herbisida pada tingkat sel atau biak jaringan untuk mendapatkan sel
mutan yang memiliki ketahanan. Sel atau jaringan yang toleran herbisida, bila
dilakukan regenerasi menjadi tanaman, diharapkan memiliki sifat toleran/tahan
herbisida sehingga mempermudah pengendalian gulma pada kedelai.
d. Seleksi
ketahanan salinitas, pH rendah, atau penyakit yang disebabkan bakteri (Pseudomonas
glycinea, Xanthomonas campestris) pada tingkat sel, dan
diikuti dengan regenerasi sel tahan menjadi tanaman.
e. Penyelamatan
embrio asal persilangan antarspesies (embryo rescue) yang tidak dapat
membentuk biji bila dilakukan dengan penyilangan konvensional.
f. Kultur
antera untuk mendapatkan tanaman haploid, diikuti penggandaan kromosom untuk
memperoleh tanaman homozigot dalam waktu yang lebih cepat.
g. Persilangan
somatik antara sel kedelai dan sel tanaman kedelai liar atau sel spesies lain,
guna memperoleh rekombinasi sifat-sifat unggul baru.
h. Pembuatan
klon NIF-gen kedelai, gen yang memungkinkan tanaman bersimbiosis dengan bakteri
Rhizobium, diikuti pemindahan gen NIF ke tanaman serealia agar mampu
mengikat N alam.
Tujuan
akhir perbaikan genetik kedelai adalah melepas varietas unggul yang berdaya
hasil tinggi, adaptif terhadap lingkungan produksi, serta mutu bijinya disukai
petani. Varietas unggul yang telah dilepas tidak akan sampai kepada petani
tanpa adanya sistem pengadaan benih bagi area produksi yang dituju. Oleh karena
itu, peran perusahaan benih, baik Balai Benih Pemerintah, perusahaan benih BUMN
maupun swasta sangat menentukan keberhasilan pengembangan varietas unggul.
Untuk memberikan dorongan timbulnya penangkar-penangkar benih swasta dan juga
untuk menyediakan benih dengan harga yang murah disarankan varietas kedelai
tidak dipatenkan. Bentuk varietas kedelai sebagai varietas murni sangat
konservatif, dapat ditangkarkan hingga berpuluh generasi tanpa mengalami
kemunduran genetik. Oleh karena itu, paten untuk varietas kedelai akan
kehilangan makna komersialnya. Melihat banyaknya permasalahan kedelai yang
dapat dipecahkan melalui pemuliaan, diperlukan sedikitnya 20 peneliti untuk
menangani perbaikan genetik kedelai, yang terdiri atas 8 orang pemulia, 5 orang
patologis, 4 orang entomologis, dan 3 orang peneliti fisiologi-agronomi
masingmasing berpendidikan S3. Peneliti tersebut harus bekerja sebagai tim,
masing-masing tim terdiri atas 3-5 orang dari disiplin ilmu yang berbeda.
Penelitian perbaikan genetic tidak perlu terpusat di satu Balai, tetapi
didisentralisasi di berbagai Balai Penelitian dan perguruan tinggi. Sebagai
perbandingan, Jepang yang hanya memiliki areal kedelai 163.000 ha mempunyai
enam pusat perbaikan genetik kedelai dan 30 stasiun percobaan.
Amerika
Serikat memiliki 104 orang pemulia kedelai yang berpendidikan S3 (42 orang di
lembaga pemerintah/universitas, 62 orang di perusahaan swasta), di samping
peneliti patologis, fisiologis, dan nutrisionis yang bekerja sama dengan peneliti
pemulia (Fehr 1987b). Dalam hal jumlah dan kualitasnya, peneliti kedelai di
Indonesia jauh tertinggal. Usaha perbaikan genetik kedelai di Indonesia masih
dalam taraf rintisan. Varietas – varietas yang dihasilkan masih belum sempurna
dan memiliki kekurangan. Namun, tahap rintisan ini dinilai sudah cukup berhasil
dan perlu terus dilanjutkan. Pekerjaan perbaikan genetik tanaman memerlukan
peneliti-peneliti yang tekun, berdedikasi tinggi, sabar, dan telaten. Bidang
ini diharapkan dapat ditangani oleh peneliti – peneliti muda yang memiliki
sifat-sifat tersebut. Generasi mendatang akan banyak yang berminat terhadap
penelitian, khususnya di bidang perbaikan genetik kedelai, apabila mereka
menyadari peluang keberhasilan yang dapat dicapai.
BAB III
KESIMPULAN
1. Penerapan
teknologi genetika pada tanaman kedelai dalam batas tertentu telah menghasilkan
varietas-varietas unggul yang memberikan sumbangan nyata terhadap peningkatan
produksi kedelai nasional, intensitas pola tanam, dan pendapatan petani.
2. Guna
memperoleh terobosan baru dalam peningkatan potensi hasil kedelai, diperlukan
program pembentukan populasi yang memiliki rekombinasi gen dan ragam aditif
maksimal. Seleksi berdasarkan bentuk morfo-fisiologis tanaman ideal perlu
diterapkan.
3. Penelitian
perbaikan varietas kedelai perlu dilaksanakan bersama secara aktif oleh
peneliti fisiologis, patologis, entomologis, dan pemulia.
4. Stabilitas
hasil kedelai yang ditentukan oleh tingkat toleransinya terhadap hama penyakit,
dengan cara pemuliaan konvensional belum berhasil mendapatkan varietas tahan
terhadap hama yang bersifat polifag serta penyakit virus. Oleh karena itu,
peluang yang terdapat pada teknik rekayasa genetic untuk mengatasi masalah
tersebut perlu dimanfaatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar