Rabu, 03 Oktober 2012

PEMANFAATAN TEKNOLOGI GENETIKA UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KEDELAI


BAB I
PENDAHULUAN
Kedelai menjadi komoditas utama dalam pembangunan pertanian Indonesia karena memiliki peran yang sangat penting dalam penyediaan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Budi daya kedelai melibatkan lebih dari satu juta keluarga petani kecil yang menggantungkan penerimaan tunainya pada kedelai. Komoditas kedelai juga memberi lapangan penghidupan bagi ratusan ribu pengrajin tahu-tempe dan pedagang pengecernya, serta buruh pada industry pengolahannya. Penggunaan kedelai terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk serta perkembangan industri pakan dan pangan olahan kedelai sehingga produksi nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, pemerintah telah memasukkan kedelai dalam program peningkatan produksi melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi, disertai kegiatan penyuluhan dan pengamanan.
            Pascapanen, pemasaran, dan harga (Sihombing1985). Berbagai upaya tersebut mampu meningkatkan produktivitas dan produksi nasional kedelai secara nyata, walaupun belum mencapai tingkat yang diinginkan. Sebagai gambaran, laju peningkatan produktivitas rata-rata pada tahun 1930-1950 hanya 0,5 t/ha, tahun 1950-1970 meningkat menjadi 0,7 t/ha dan produksi nasional sekitar 500.000 t/tahun. Pada tahun 1990, produktivitas kedelai telah mencapai 1,1 t/ha dan produksi nasional mencapai 1,2 juta t/tahun. Banyak faktor yang berperan dalam kenaikan produksi dan produktivitas kedelai, termasuk penanaman varietas unggul dan penggunaan benih bermutu, perbaikan cara budi daya dan pengendalian hamapenyakit, serta penanganan pascapanen yang lebih baik. Namun, melihat potensi hasil pada petak percobaan yang dapat mencapai 2,5-3,0 t/ha, seharusnya produktivitas kedelai dapat ditingkatkan menjadi 1,5-1,7 t/ha. Teknologi untuk mencapai produktivitas tersebut telah tersedia, walaupun masih perlu disempurnakan (Manwan et al. 1990). Ketersediaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan adaptif terhadap lingkungan agroklimat spesifik, mutlak diperlukan untuk mencapai tingkat produktivitas tersebut. Mulai tahun 1991, usaha ekstensifikasi kedelai pada lahan-lahan baru ditingkatkan. Pada awal tahun 1990-an terdapat 2 juta ha lebih lahan sawah yang diberakan pada musim kemarau dan 5 juta ha lebih lahan kering yang belum diusahakan untuk tanaman pangan. Dari lahan-lahan tersebut pasti terdapat areal yang sesuai untuk usaha tani kedelai. Sebagai negara dengan konsumsi kedelai yang terus meningkat, areal panen kedelai di Indonesia relative sangat kecil dibandingkan negara-negara penghasil kedelai, seperti Amerika Serikat (25 juta ha), Cina (8 juta ha), Brasil (9 juta ha), dan Argentina (4 juta ha). Guna mencapai kecukupan dan keamanan penyediaan kedelai hingga awal abad ke-21, Indonesia perlu memiliki luas areal panen kedelai minimal 2 juta ha dengan total produksi 3 juta tahun. Sistem usaha tani kedelai di Indonesia sangat beragam dari segi tipe lahan yang digunakan, jenis tanah, sistem rotasi dan pola tanam, serta musim tanamnya. Keadaan yang sangat kompleks ini memerlukan paket-paket teknologi spesifik, termasuk varietas kedelai yang paling sesuai. Permasalahan ini memberikan peluang dan tantangan bagi para peneliti kedelai untuk berkarya bersama guna memecahkan permasalahan serta menghasilkan varietas unggul yang beradaptasi pada lingkungan spesifik.



BAB II
A.  HASIL PERBAIKAN GENETIK KEDELAI
            Perbaikan varietas kedelai di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1915 (Somaatmadja 1985). Langkah yang dilaksanakan pada saat itu adalah melakukan koleksi varietas lokal dan mengintroduksi varietas dari Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, dan Negara lain, yang diikuti dengan seleksi massal dan seleksi galur murni. Melalui upaya ini, pada sekitar tahun 1920 diperoleh varietas No. 16, No. 27, dan No. 29 yang ditanam petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga akhir tahun 1960-an. Persilangan untuk membuat varietas genjah dilakukan pada akhir tahun 1920-an, dan pada tahun 1935-1937 diperoleh varietas Ringgit dan Sindoro yang ditanam petani di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Lampung. Sejak awal tahun 1960-an, varietas ini tidak lagi ditanam petani karena peka terhadap penyakit karat. Pada tahun 1950-1970, introduksi varietas dari luar negeri diintensifkan, di samping dilakukan persilangan dan seleksi terhadap varietas lokal. Pada masa itu berhasil dilepas varietas Merapi, Davros, dan Shakti yang ditanam petani di Jawa Tengah dan Jawa Barat (Somaatmadja 1985). Sejalan dengan mobilitas dan perpindahan penduduk, varietas-varietas tersebut juga ikut menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak tahun 1970-an, penelitian perbaikan varietas kedelai mulai ditangani lebih intensif. Persilangan lebih banyak dibuat, dan seleksi terhadap varietas local dihentikan. Galur-galur yang terpilih diuji di sentra produksi kedelai bekerja sama dengan Direktorat Produksi Tanaman Pangan.
Melalui program pemuliaan yang lebih intensif dari tahun 1970 hingga 1990 berhasil dilepas 15 varietas unggul kedelai (Tabel 1). Walaupun belum memiliki sifat unggul yang lengkap, varietas-varietas tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan varietas unggul lama, terutama dari segi potensi hasil, pengurangan umur panen, toleransi terhadap penyakit karat, adaptasi terhadap lingkungan spesifik, serta kualitas biji.



Tabel 1. Varietas unggul kedelai yang dilepas di Indonesia dari tahun 1970 hingga tahun 1990.
Nama varietas
Tahun dilepas
Daya hasil (t/ha)
Umur panen (hari)
Orba
1974
2,0
85
Galunggung
1981
1,8
83
Lokon
1982
1,7
78
Guntur
1982
1,7
78
Wilis
1983
2,5
86
Dempo
1984
2,0
96
Kerinci
1985
2,5
87
Raung
1986
2,0
85
Tidar
1987
2,0
75
Muria
1987
2,0
88
Petek
1988
1,5
75
Tambora
1989
2,0
85
Lompobatang
1989
2,0
87
Rinjani
1989
2,5
88
            Berdasarkan survei yang dilakukan bulog pada tahun 1985-1987, penanaman varietas unggul kedelai telah mencapai 60% dari total luas panen (Bulog 1987). Dengan penyediaan benih mengikuti jalur benih antarlapang dan musim (jabalsim), areal yang ditanami varietas unggul dari waktu itu ke tahun-tahun berikutnya makin meningkat, walaupun kemurnian varietas mungkin kurang terjamin. Kenaikan produktivitas kedelai dari 0,7 t/ha pada awal tahun 1970-an menjadi 1,1 t/ha pada tahun 1990 sejalan dengan pelepasan dan penanaman varietas unggul. Beberapa petani maju di Jombang, Pasuruan, dan Banyuwangi (Jawa Timur), dengan menanam kedelai varietas Wilis dapat menghasilkan 2 t biji kering/ha. Kenaikan produksi akibat penggunaan varietas unggul merupakan bonus bagi petani karena adopsi varietas unggul tersebut tanpa memerlukan tambahan biaya.
B.   TEKNOLOGI GENETIKA
            Ilmu genetika yang mendasari perbaikan genetik varietas tergolong ilmu yang muda dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Namun, penerapan teknologi genetika pada tanaman telah mengakibatkan terjadinya revolusi budi daya pertanian di seluruh dunia. Revolusi hijau yang terjadi pada tahun 1970-an dalam produksi serealia dimotori oleh penggunaan varietas unggul sebagai aplikasi teknologi genetika. Perbaikan yang diperoleh tidak saja dalam hal daya hasil, tetapi juga peningkatan stabilitas produksi oleh adanya gen-gen ketahanan hama-penyakit, peningkatan adaptasi pada lingkungan berkendala, kesesuaian umur panen terhadap sistem usaha tani, dan peningkatan respons terhadap pupuk dan pengairan. Dengan adanya perbaikan sifat genetik tersebut, usaha tani tanaman pangan telah berubah dari usaha subsisten menjadi usaha komersial. Penerapan teknologi genetika memiliki keuntungan dan kelebihan khusus karena tidak memerlukan modal besar, bahan bakunya tersedia di alam, teknologinya mudah dikuasai, serta tidak menimbulkan limbah yang mencemari lingkungan. Indonesia sebagai negara agraris, seyogianya memanfaatkan teknologi genetika tersebut untuk mendukung pembangunan pertanian dalam arti yang seluas-luasnya. Pada waktu kini diperlukan peningkatan kesadaran akan pentingnya peningkatan penelitian genetika, baik sebagai ilmu dasar maupun sebagai teknologi terapan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya genetik Indonesia. Teknologi genetika dalam bahasan ini diartikan sebagai semua teknik yang berkaitan dengan usaha perbaikan konstruksi genetik tanaman guna meningkatkan kemampuan varietas tanaman dalam hal produktivitas, ketahanan terhadap hamapenyakit, stabilitas, kualitas maupun adaptabilitas tanaman. Berbagai teknik genetika telah dikembangkan dalam kurun waktu 75 tahun terakhir, yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 10 teknik, yaitu: (1) aklimatisasi dan adaptasi gen; (2) rekombinasi dan fiksasi gen melalui hibridisasi; (3) alterasi gen dengan mutasi; (4) alterasi kromosom; (5) ploidisasi; (6) alterasi genom; (7) introgresi plasma nutfah asing; (8) substitusi sitoplasma; (9) rekayasa genetik; dan (10) kombinasi jaringan somatik. Penerapan masing-masing teknik genetika tersebut dalam program perbaikan varietas barulah merupakan tahap pertama, yang perlu diikuti oleh tahapan seleksi dan uji daya hasil, adaptasi, stabilitas sifat, mutu hasil, preferensi konsumen, serta uji sifat-sifat lain. Dengan demikian, secara keseluruhan proses perakitan varietas unggul memerlukan waktu yang relatif lama. Bahasan dan uraian masing-masing teknik genetika tersedia pada buku-buku teks, antara lain yang ditulis oleh Fehr (1987a) dan Simmonds (1979). Pemilihan berbagai  alternatif teknik genetika tersebut untuk perbaikan varietas tanaman ditentukan oleh sifat biologi tanaman, cara penyerbukan, cara perbanyakan benih, bentuk varietas, serta peralatan dan tenaga ahli yang tersedia. Adaptasi dan aklimatisasi genotipe, teknik rekombinasi dan fiksasi gen, sertan teknik alterasi gen telah banyak diterapkan dalam perbaikan genetik tanaman pangan, termasuk kedelai. Berbagai prosedur seleksi dan bentuk varietas yang berkaitan dengan teknik tersebut dapat dipilih sesuai dengan spesies tanamannya. Sebagian besar varietas unggul yang ada pada saat ini dikembangkan dengan teknik-teknik tersebut. Teknik alterasi kromosom dimanfaatkan untuk mendapatkan sifat tahan penyakit karat pada terigu, dengan cara menyisipkan sepotong kecil kromosom terigu liar (Aegilops sp.) pada kromosom terigu budi daya (Sears 1956; Riley et al. 1968). Dengan menggunakan translokasi kromosom yang mengandung gen mandul jantan Msms, Patherson (1978) menyarankan alternative pembentukan galur betina mandul jantan pada pembuatan hibrida jagung dengan teknik sitogenetik. Teknik ini pun berpeluang untuk diterapkan pada pembentukan galur betina (mandul jantan) pada hibrida padi. Ploidisasi bermanfaat dalam persilangan antarspesies guna memperoleh turunan yang fertil. Persilangan Triticum sp. (4x) dengan Secale sp. (2x) menghasilkan keturunan genotipe (3x) yang steril, tetapi setelah kromosomnya digandakan menjadi heksaploid yang fertil menghasilkan spesies baru Triticale (6x) yang stabil. Ramage (1965) mengusulkan teknik modifikasi genom untuk membentuk hibrida pada tanaman menyerbuk sendiri, dengan cara memasukkan gen mandul jantan Ms pada genom Trisomik (2x+1A). Penambahan satu kromosom yang mengandung gen Ms mengakibatkan polen steril sehingga galur berfungsi sebagai betina. Introgresi 1-3% gen dari plasma nutfah liar ke dalam genom varietas unggul dilaporkan dapat meningkatkan potensi hasil kedelai (Schoener and Fehr 1979; Sumarno 1988). Substitusi sitoplasma varietas unggul oleh sitoplasma varietas liar jugasering dimanfaatkan untuk memperoleh ketahanan terhadap penyakit atau sifat jantan mandul yang dapat dimanfaatkan pada pembuatan hibrida.
C.   REKAYASA GENETIK DAN BIOTEKNOLOGI
            Rekayasa genetik melalui bioteknologi memanfaatkan teknik manipulasi dan rekombinasi gen pada tingkat sel dengan bantuan vektor, peralatan fisik mikro, dan media tumbuh. Dengan teknik ini dimungkinkan untuk merekombinasikan gen yang diisolasi dari spesies lain, yang tidak mungkin dilakukan dengan cara-cara persilangan konvensional. Agar teknik ini efektif, diperlukan penguasaan teknik yang meliputi identifikasi gen yang diinginkan, isolasi gen, pembuatan klon gen, transformasi dan rekombinasi gen ke dalam sel penerima dengan bantuan vektor, regenerasi sel menjadi tanaman transgenik, serta penelusuran keragaan (expressivity) dan stabilitas gen pada tanaman dalam proses perbanyakan benihnya. Apabila teknik masingmasing tahap tersebut sudah dapat dilaksanakan secara rutin, penerapan rekayasa genetik memberikan prospek yang sangat besar, terutama dalam penggabungan gen untuk ketahanan hama dan penyakit.



BAB III
D.   PENERAPAN TEKNOLOGI GENETIKA PADA KEDELAI
            Walaupun varietas unggul kedelai sudah banyak dilepas melalui program perbaikan varietas, kemajuan genetik potensi hasilnya belum maksimal. Dari program perbaikan varietas kedelai di Amerika Serikat, kemajuan genetik varietas sejak tahun 1924 hingga 1980 mencapai 21 kg/ha/ tahun, atau daya hasil meningkat 1,176 kg/ ha melalui usaha perbaikan varietas selama 56 tahun (Specht dan Williams 1984). Sebagai perbandingan, perbaikan varietas jagung di Amerika Serikat dari tahun 1955 hingga 1980 memperoleh kemajuan genetic sebesar 112 kg/ha/tahun, atau peningkatan potensi hasil 2.800 kg/ha selama 25 tahun (Duvick 1984). Untuk mendapatkan peluang yang lebih besar dalam memperoleh terobosan peningkatan potensi hasil varietas unggul kedelai, beberapa alternatif rancangan perbaikan genetik diajukan sebagai berikut.
1.   Perbaikan Genetik Untuk Peningkatan Potensi Hasil Berdasarkan Sifat Fisiologis Tanaman.
      Mengikuti keberhasilan perbaikan genetic tanaman padi yang mendasarkan pada bentuk ideal tanaman, hal serupa perlu diterapkan pada tanaman kedelai. Namun, hingga kini belum dapat dirumuskan bentuk ideal tanaman kedelai secara jelas. Proses fisiologis tanaman kedelai yang berupa laju fotosintesis, indeks luas daun, dan laju pertumbuhan tanaman kurang  efektif sebagai kriteria pemilihan varietas unggul (Cooper 1976). Kemungkinan justru sifat-sifat morfofisiologis seperti tipe pertumbuhan batang (determinit, semideterminit, indeterminit), rasio periode vegetatif-generatif, serta rasio hasil biji dan hasil biomassa dapat memberikan indikasi yang baik untuk pemilihan varietas unggul. Hasil penelitian Harsono et al. (1989) menyimpulkan bahwa varietas kedelai yang berdaya hasil tinggi dicirikan oleh sifat tipe tumbuh determinit, distribusi cahaya dalam tajuk tanaman baik, serta memiliki periode pengisian biji efektif yang panjang dan laju pengisian biji tinggi. Varietas Tidar dan Wilis ternyata memiliki sifat-sifat tersebut. Seleksi untuk mendapatkan galur unggul akan lebih efektif bila mendasarkan kriteria bentuk tanaman determinit atau semideterminit, rasio periode vegetatif/generative kurang dari 1,0, dan indeks panen lebih dari 0,5. Dengan pemilihan umur panen yang disesuaikan dengan sistem usaha tani setempat, varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dapat dirakit menggunakan kriteria tersebut.
2.   Perbaikan Genetik Untuk Ketahanan Hama Dan Penyakit Utama.
            Produksi kedelai yang tidak stabil disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit yang belum dapat dikendalikan dengan baik. Tersedianya varietas kedelai yang tahan/toleran hama dan penyakit akan memudahkan petani dalam budi daya kedelai, serta meningkatkan stabilitas produksi tanaman. Hama yang perlu dikendalikan dengan penggunaan deploisasi gen pada varietas tahan terutama adalah lalat bibit (Ophiomya phaseoli), pengisap polong (Nezara sp.; Riptortus sp.), penggerek biji (Etiella sp.), dan kutu trip. Sifat tahan penyakit terutama ditujukan kepada karat daun, virus, bakteri busuk daun, dan bakteri bisul pustul. Gen sumber ketahanan terhadap hama pengisap polong dan kutu trip serta sifat tahan penyakit karat dan bakteri busuk daun tersedia pada koleksi plasma nutfah yang terdapat di Puslitbangtan, AVRDC Taiwan, dan Amerika Serikat. Spesies liar kedelai juga memiliki gen ketahanan hama dan penyakit utama (Hymowitz 1991). Untuk keberhasilan program perbaikan genetik ketahanan hama dan penyakit, diperlukan kesadaran peneliti akan perlunya saling bekerja sama antara patologis, pemulia, atau entomologis-pemulia sejak pemilihan tetua persilangan, seleksi, hingga pengujian dan pelepasan varietas. Keterkaitan interdisiplin yang sinergis dan simbiotik antara peneliti patologis-pemulia atau entomologis-pemulia. Saat ini keterkaitan kerja interdisiplin yang demikian belum banyak dilakukan karena adanya perasaan egodisiplin ilmu.
Dalam program kerja interdisiplin tersebut, peneliti patologis atau entomologis memperoleh hak untuk melepas varietas unggul yang dikembangkan. Penerapan teknologi genetika secara konvensional harus diakui belum berhasil mendapatkan varietas-varietas kedelai yang tahan terhadap hama yang bersifat polifag, seperti ulat grayak, ulat Heliothis atau berbagai strain virus. Peluang untuk mendapatkan varietas tahan dengan caracara lain, termasuk penerapan rekayasa genetik dalam bioteknologi, perlu dimanfaatkan.
3.   Perbaikan Potensi Hasil Biji Atas Dasar Maksimalisasi Ragam Aditif Dan Kemajuan Genetik.
            Potensi hasil kedelai dikendalikan oleh banyak gen (poligenik). Persilangan antara dua tetua yang selama ini dilakukan dinilai memiliki kelemahan karena proses inbridisasi sejak generasi F2 langsung diikuti oleh fiksasi gen secara cepat, sehingga tidak dapat menampung rekombinasi gen positif (favorable genes) penentu hasil. Keadaan ini diperburuk oleh kecilnya populasi F2 dan sedikitnya famili galur yang dibentuk. Hal inilah kemungkinan yang menjadi penyebab kecilnya kemajuan genetic daya hasil varietas unggul yang telah dilepas. Untuk meningkatkan terjadinya rekombinasi gen positif dan menunda terjadinya fiksasi gen serta memaksimalkan ragam aditif, perlu dilakukan persilangan ganda (multiple crosses) dari 16 tetua terpilih yang diikuti dengan inbridisasi menggunakan penurunan biji tunggal (single seeddescent). Tetua-tetua yang dipergunakan dalam persilangan ganda terdiri atas varietas unggul dan varietas unggul lokal terbaik, namun diusahakan masing-masing tidak memiliki hubungan genetik. Saran tetua yang dapat digunakan pada program ini tertera pada Tabel 2.
            Untuk mendapatkan rekombinasi gengen dari 16 tetua pada musim ke-1 dibuat delapan pasangan persilangan. Pada musim ke-2, delapan tanaman F1(1) disilangkan menjadi empat pasangan sehingga menghasilkan empat macam F1(2). Pada musim ke-3, empat F1(2) dibuat menjadi dua pasang persilangan, dan pada musim ke-4 tanaman F1(3) dibuat satu pasang persilangan untuk membentuk biji F1(4). Untuk mengakomodasi sebanyak mungkin rekombinasi gen dari semua tetua, perlu diusahakan untuk mendapatkan biji F1(2), F1(3) dan F1(4) sebanyak mungkin.
Tabel 2. Saran tetua untuk persilangan ganda, berupa varietas unggul kedelai yang berkerabat genetik jauh.


Nama varietas
Pedigri
Asal
Sinyonya
-
Lokal Jember
Tambora
B-7507
Thailand/IRRI
IAC-11
-
Brasil
Wilis
1682/Orba
Persilangan Bogor
Kucir
-
Lokal Lampung
Dempo
Amerikana
1400-B Kolumbia
SJ-4
-
Thailand
Raung
Shakti x Davros
Persilangan Bogor
Tainung-4
-
Taiwan
Lokon
Genjah Slawi x TK5
Persilangan Sukamandi
Lumajang Bewok
-
Lokal Lumajang
Mlg-2675
-
Lokal Ponorogo
Secara teoritis, apabila gen pengatur hasil biji terdiri atas n lokus maka diperlukan 3(n) individu F1(4) untuk dapat menampung semua rekombinasi gen-gen tersebut. Sebagai contoh, bila n = 8 lokus, diperlukan 6.561 biji F1(4) . Dalam praktek, membuat biji hibrida sebanyak 6.561 biji sukar dilakukan pada kedelai. Banyaknya biji yang tertera pada Lampiran 2 adalah jumlah yang disarankan sesuai pertimbangan praktis. Pada musim ke-4, populasi F1(4) yang setara dengan F2 pada persilangan tunggal, diinbridisasi dengan metode penurunan biji tunggal (single seed descent) (Brim 1996). Galur inbrida (homozigot) F6 terdiri atas famili yang tidak bersaudara (non-sister lines) karena masing-masing berasal dari rekombinasi 16 tetua, dan diturunkan langsung dari F1(4). Dengan demikian, keragaman genetik antargalur F6 menjadi maksimal, sesuai dengan keragaman genetik antarfamili. Galur F6 dapat diperbanyak dan diobservasi ecara  terhadap karat dan pengelompokan umur panen, namun pemilihan galur (seleksi) perlu lebih didasarkan pada uji daya hasil. Galur-galur ini dapat diuji di banyak lokasi, pada semua agroekologi sentra produksi kedelai. Keuntungan populasi bastar yang dibentuk dari persilangan banyak tetua, selain dapat meningkatkan kemajuan genetik yang lebih besar dan dapat memperoleh varietas baru yang potensi hasilnya lebih tinggi daripada tetuanya, juga diperoleh hal-hal berikut:
a.     Galur-galur yang diperoleh memiliki adaptasi luas, di samping juga tersedianya galur yang adaptif lingkungan spesifik sesuai dengan adaptasi tetuanya.
b.     Dari populasi dapat dibentuk banyak galur yang tidak sefamili.
c.     Harga tengah populasi, yang diukurpada potensi hasil, cukup tinggi karena tetuanya varietas unggul.
d.     Galur-galur yang terbentuk memiliki ragam genetik yang besar.
e.     Ragam aditif diperbesar hingga mencapai hampir 200% dari ragam aditif populasi asal, dan ketersediaan keragaman antargalur maksimal.
f.     Galur terpilih dapat dijadikan tetua baru dalam program persilangan berikutnya.
g.     Seleksi dengan proses uji daya hasil dapat dilakukan di berbagai lingkungan, dan masing-masing lingkungan memiliki peluang untuk memperoleh galur yang adaptif karena besarnya keragaman genetik yang tersedia.
h.     Persilangan dan inbridisasi cukup dilakukan di salah satu kebun percobaan, dan galur-galur homozigot F6 dapat dikirim ke semua lokasi target/instansi yang memerlukan. Dibandingkan persilangan dengan dua tetua yang sering dilakukan selama ini, rancangan persilangan ganda diikuti penurunan biji tunggal tidak memiliki kesulitan yang berarti. Perbedaannya, rancangan persilangan ganda memerlukan lebih banyak tenaga penyilang yang tekun dan terampil untuk memperoleh biji hibrida yang cukup banyak. Keuntungan teoritis berdasarkan perhitungan genetika kuantitatif dan kemajuan genetik maksimum dari rancanagan persilangan ganda.
4. Penerapan Bioteknologi
            Teknologi genetika konvensional pada tanaman kedelai dewasa ini memiliki keterbatasan
sehingga menghambat keberhasilan usaha perbaikan varietas. Sebagaib contoh, hingga saat ini belum berhasil ditemukan sumber gen untuk ketahanan terhadap virus. Dengan teknik rekayasa genetik, dimungkinkan untuk menggabungkan gen-gen yang dapat membentuk senyawa antibiosis yang mengakibatkan tanaman tahan terhadap penyakit tersebut. Beberapa contoh kemungkinan penerapan bioteknologi pada tanaman kedelai adalah sebagai berikut:
a.     Transformasi gen ketahanan virus (CP-gene) ke dalam sel penerima sehingga terintegrasi ke dalam genom kedelai, diikuti regenerasi sel menjadi tanaman sehingga diperoleh tanaman yang memiliki sifat tahan virus.
b.     Transformasi gen ketahanan hama yang berasal dari indotoksin gen Bacillusthuringiensis (Bt-gene) ke dalam genom kedelai menggunakan bantuan vektor Tiplasmid, diikuti regenerasi sel menjadi tanaman transgenik yang tahan ulat pemakan daun.
c.     Seleksi ketahanan herbisida pada tingkat sel atau biak jaringan untuk mendapatkan sel mutan yang memiliki ketahanan. Sel atau jaringan yang toleran herbisida, bila dilakukan regenerasi menjadi tanaman, diharapkan memiliki sifat toleran/tahan herbisida sehingga mempermudah pengendalian gulma pada kedelai.
d.     Seleksi ketahanan salinitas, pH rendah, atau penyakit yang disebabkan bakteri (Pseudomonas glycinea, Xanthomonas campestris) pada tingkat sel, dan diikuti dengan regenerasi sel tahan menjadi tanaman.
e.     Penyelamatan embrio asal persilangan antarspesies (embryo rescue) yang tidak dapat membentuk biji bila dilakukan dengan penyilangan konvensional.
f.     Kultur antera untuk mendapatkan tanaman haploid, diikuti penggandaan kromosom untuk memperoleh tanaman homozigot dalam waktu yang lebih cepat.
g.     Persilangan somatik antara sel kedelai dan sel tanaman kedelai liar atau sel spesies lain, guna memperoleh rekombinasi sifat-sifat unggul baru.
h.     Pembuatan klon NIF-gen kedelai, gen yang memungkinkan tanaman bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium, diikuti pemindahan gen NIF ke tanaman serealia agar mampu mengikat N alam.
            Tujuan akhir perbaikan genetik kedelai adalah melepas varietas unggul yang berdaya hasil tinggi, adaptif terhadap lingkungan produksi, serta mutu bijinya disukai petani. Varietas unggul yang telah dilepas tidak akan sampai kepada petani tanpa adanya sistem pengadaan benih bagi area produksi yang dituju. Oleh karena itu, peran perusahaan benih, baik Balai Benih Pemerintah, perusahaan benih BUMN maupun swasta sangat menentukan keberhasilan pengembangan varietas unggul. Untuk memberikan dorongan timbulnya penangkar-penangkar benih swasta dan juga untuk menyediakan benih dengan harga yang murah disarankan varietas kedelai tidak dipatenkan. Bentuk varietas kedelai sebagai varietas murni sangat konservatif, dapat ditangkarkan hingga berpuluh generasi tanpa mengalami kemunduran genetik. Oleh karena itu, paten untuk varietas kedelai akan kehilangan makna komersialnya. Melihat banyaknya permasalahan kedelai yang dapat dipecahkan melalui pemuliaan, diperlukan sedikitnya 20 peneliti untuk menangani perbaikan genetik kedelai, yang terdiri atas 8 orang pemulia, 5 orang patologis, 4 orang entomologis, dan 3 orang peneliti fisiologi-agronomi masingmasing berpendidikan S3. Peneliti tersebut harus bekerja sebagai tim, masing-masing tim terdiri atas 3-5 orang dari disiplin ilmu yang berbeda. Penelitian perbaikan genetic tidak perlu terpusat di satu Balai, tetapi didisentralisasi di berbagai Balai Penelitian dan perguruan tinggi. Sebagai perbandingan, Jepang yang hanya memiliki areal kedelai 163.000 ha mempunyai enam pusat perbaikan genetik kedelai dan 30 stasiun percobaan.
            Amerika Serikat memiliki 104 orang pemulia kedelai yang berpendidikan S3 (42 orang di lembaga pemerintah/universitas, 62 orang di perusahaan swasta), di samping peneliti patologis, fisiologis, dan nutrisionis yang bekerja sama dengan peneliti pemulia (Fehr 1987b). Dalam hal jumlah dan kualitasnya, peneliti kedelai di Indonesia jauh tertinggal. Usaha perbaikan genetik kedelai di Indonesia masih dalam taraf rintisan. Varietas – varietas yang dihasilkan masih belum sempurna dan memiliki kekurangan. Namun, tahap rintisan ini dinilai sudah cukup berhasil dan perlu terus dilanjutkan. Pekerjaan perbaikan genetik tanaman memerlukan peneliti-peneliti yang tekun, berdedikasi tinggi, sabar, dan telaten. Bidang ini diharapkan dapat ditangani oleh peneliti – peneliti muda yang memiliki sifat-sifat tersebut. Generasi mendatang akan banyak yang berminat terhadap penelitian, khususnya di bidang perbaikan genetik kedelai, apabila mereka menyadari peluang keberhasilan yang dapat dicapai.

BAB III
KESIMPULAN
1.     Penerapan teknologi genetika pada tanaman kedelai dalam batas tertentu telah menghasilkan varietas-varietas unggul yang memberikan sumbangan nyata terhadap peningkatan produksi kedelai nasional, intensitas pola tanam, dan pendapatan petani.
2.     Guna memperoleh terobosan baru dalam peningkatan potensi hasil kedelai, diperlukan program pembentukan populasi yang memiliki rekombinasi gen dan ragam aditif maksimal. Seleksi berdasarkan bentuk morfo-fisiologis tanaman ideal perlu diterapkan.
3.     Penelitian perbaikan varietas kedelai perlu dilaksanakan bersama secara aktif oleh peneliti fisiologis, patologis, entomologis, dan pemulia.
4.     Stabilitas hasil kedelai yang ditentukan oleh tingkat toleransinya terhadap hama penyakit, dengan cara pemuliaan konvensional belum berhasil mendapatkan varietas tahan terhadap hama yang bersifat polifag serta penyakit virus. Oleh karena itu, peluang yang terdapat pada teknik rekayasa genetic untuk mengatasi masalah tersebut perlu dimanfaatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar